Note

Ekonom : Kondisi Suku Bunga Global yang Cenderung Divergent Bikin Sentimen Risk-off di Pasar Negara Berkembang Menguat

· Views 47

Pasardana.id – Ketidakpastian terkait arah suku bunga global meningkat pada beberapa minggu terakhir.

Perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat.

Demikian disampaikan Josua Pardede, Chief Economist PermataBank melalui Permata Institute of Economic Research (PIER) yang melakukan analisis makroekonomi yang mencakup proyeksi ekonomi global untuk tahun 2024, dengan fokus pada kebijakan moneter bank sentral utama dunia dan dampaknya terhadap pasar keuangan, termasuk pasar negara berkembang seperti Indonesia. 

Dalam analisis tersebut, beberapa poin yang dibahas antara lain mengenai: Kebijakan Moneter Global, Divergensi Suku Bunga Global, Risiko Twin Deficit di Indonesia, dan Keputusan Bank Indonesia terkait BI-rate.

Lebih jelasnya, Josua menyebutkan, bahwa bank-bank sentral utama dunia cenderung divergent dalam menentukan arah kebijakan moneternya.

European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) misalnya, yang memberikan sinyal dovish, dimana pemotongan suku bunga acuannya kemungkinan besar dapat terjadi lebih cepat pada tahun ini. Hal ini dipicu oleh proses disinflasi berlanjut dan kondisi ekonomi kawasan Eropa dan Inggris Raya yang sudah mencatatkan technical recession atau kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berurutan.

Sementara itu, Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, sejalan dengan tingkat inflasinya yang secara konsisten sudah berada di bawah target sasarannya.

Berbeda dengan kebanyakan bank sentral, Bank of Japan (BoJ) malah memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya. Hal ini dilakukan karena inflasi Jepang yang terus berada di atas target dan adanya risiko inflasi ke depan dari kenaikan gaji tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Meski demikian, BoJ tetap akan akomodatif dalam menjaga suku bunga jangka panjangnya walau menghilangkan kebijakan Yield Curve Control (YCC), dengan tetap mempertahankan jumlah pembelian Japanese Government Bond (JGB) dan akan menambah jumlah pembelian jika yield dirasa naik terlalu tinggi.

Sementara itu, the Fed pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir malah merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi inti Amerika Serikat untuk tahun ini.

Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat masih relatif solid dan resilient.

Perkembangan kondisi ekonomi Amerika Serikat terkini pun menunjukkan bawah pasar tenaga kerja masih relatif ketat dan proses disinflasi mulai menunjukkan perlambatan.

Walau begitu, the Fed tetap memberikan sinyal bahwa pemotongan suku bunga acuan tetap terbuka pada tahun ini meski menyatakan tidak akan terburu-buru dalam melakukannya.

The Fed kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini.

Sementara itu, dalam konteks Indonesia, sentimen risk-off  yang kembali meningkat, terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date.

Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven assets sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk Rupiah.

Di sisi lain, jelasnya, Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.

Data terakhir menunjukkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah.

Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini.

Dari sisi fiskal, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan baru ke depan yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.

Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas.

Data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, namun jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun.

Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia.

Tercatat, bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun.

Tantangan-tantangan tersebut, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik, akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan timing dan besar pemotongan BI-rate ke depan.

“Dalam jangka pendek, ditambah dengan risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat Bank Indonesia cenderung akan mempertahankan BI-rate pada level saat ini. Ruang pemotongan kemungkinan terjadi pada paruh kedua tahun ini,” jelas Josua.

Disclaimer: The content above represents only the views of the author or guest. It does not represent any views or positions of FOLLOWME and does not mean that FOLLOWME agrees with its statement or description, nor does it constitute any investment advice. For all actions taken by visitors based on information provided by the FOLLOWME community, the community does not assume any form of liability unless otherwise expressly promised in writing.

FOLLOWME Trading Community Website: https://www.followme.com

If you like, reward to support.
avatar

Hot

No comment on record. Start new comment.