Note

Efek Bola Salju dari Kasus Tambang di Pulau Wawonii

· Views 83

BAHASAN mengenai Pulau Wawonii yang terletak di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, akhir-akhir ini cukup intens diangkat sejumlah media.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Pulau Wawonii merupakan salah satu pulau kecil dengan luasan 867,58 kilometer persegi (km2). Isu mengenai pulau ini mengemuka lantaran PT Gema Kreasi Perdana (GKP)—yang notabene pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Nikel—sedang dalam sorotan.

Melihat kembali riwayatnya, perizinan PT GKP dimulai dengan diperolehnya Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi bijih nikel pada Januari 2007 yang diterbitkan Bupati Konawe.

Eksplorasi dilakukan dan semua persyaratan peningkatan izin telah dilengkapi, antara lain laporan eksplorasi lengkap, studi kelayakan dan kelayakan lingkungan. Maka, KP Eksploitasi terbit pada November 2008.

Dengan terbitnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, PT GKP mengajukan permohonan penyesuaian perizinan karena KP tidak dikenal dalam Undang-Undang (UU) baru.

Bupati Konawe kemudian menerbitkan penyesuaian dari KP Eksploitasi menjadi IUP Operasi Produksi pada Januari 2010.

Untuk diketahui, wilayah kegiatan PT GKP berada dalam kawasan hutan dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 707 ha diperoleh pada Juni 2014. Beberapa persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang untuk Wilayah Pertambangan seluas 850,9 ha, Wilayah Izin Proyek 261 ha, dan Wilayah Terminal Khusus 13,26 ha, diterbitkan pada 2022.

Terakhir, Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) diterbitkan pada Januari 2023, dan perusahaan seharusnya sudah bisa memulai operasi produksi dengan aman.

Namun, muncul sengketa dengan kelompok masyarakat setempat hingga bergulir ke Mahkamah Agung (MA), yang mana keputusannya menggoyahkan perizinan PT GKP.

Dasar keputusan MA adalah Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 35 Huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), bahwa pertambangan tidak diperbolehkan dilakukan di pulau kecil.

PT GKP, melalui kuasa hukumnya, menilai dan menyampaikan adanya interpretasi yang berbeda terhadap kedua pasal tersebut. Oleh karena itu, PT GKP mengajukan permohonan Pengujian Materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengajuan permohonan uji materiil atas putusan MA ini selain sah sesuai kepentingan PT GKP, menjadi sangat penting karena dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas.

Baca juga: Dilematika Pertambangan di Pulau Kecil

 

Keputusan MA bisa menjadi yurisprudensi terhadap kegiatan pertambangan mineral lainnya di pulau kecil, bahkan termasuk pertambangan minyak dan gas (migas) yang menjadi tumpuan pendapatan negara.

Ketatnya aturan pemerintah terhadap aktivitas tambang

PT GKP kini berada dalam pembinaan dan pengawasan yang intensif, baik dari pemerintah daerah (Pemda) maupun pusat.

Jika ditelisik lebih jauh, Pemda merupakan pihak yang paling merasakan dampaknya apabila ada ketidakberesan atau tidak optimalnya manfaat kehadiran investasi di daerahnya.

Maka tentunya, Pemda akan sangat berhati-hati menerbitkan setiap kebijakan dan mempertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Adapun pembina dan pengawas yang lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Ini karena area operasional perusahaan berkaitan dengan wilayah hutan, serta kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan komitmennya sesuai Kelayakan Lingkungan yang disetujui pemerintah.

Instansi lainnya adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memantau pelaksanaan semua kegiatan lapangan, termasuk reklamasi dan perlindungan lingkungan, sebagaimana yang dicantumkan pada RKAB tahunan yang disetujui Pemerintah.

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan, baik oleh Kementerian LHK maupun Kementerian ESDM sangat ketat. Pelanggaran keras dapat menyebabkan pimpinan perusahaan atau Kepala Teknik Tambang (KTT) berurusan dengan hukum, operasional tambang bisa dihentikan sementara, dan atau dicabut izinnya.

Potensi risiko terhadap tambang di pulau kecil lainnya

Terlepas dari adanya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan oleh Pemda maupun Pusat, putusan yang kemudian menghentikan dan bahkan mencabut perizinan PT GKP bisa menjadi yurisprudensi bagi kegiatan apa pun di pulau-pulau kecil di negeri ini.

Kegiatan yang dimaksud bukan hanya pertambangan nikel, melainkan pertambangan mineral lainnya, juga termasuk pertambangan migas. Apabila itu terjadi, bisa kita bayangkan betapa besar risikonya terhadap negeri ini.

Sementara ini, diketahui ada 93 perusahaan pemegang IUP di 28 pulau kecil, terdiri dari IUP Nikel di 13 pulau dan IUP mineral lainnya di 15 pulau. Khusus IUP Nikel tersebar di Pulau Maniang, Pulau Bahubulu, Pulau Kabaena, Pulau Wawonii, Pulau Malamala, Pulau Mabuli, Pukul Gei, Pulau Pakal, Pulau Fau, Pulau Gebe, Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Dari sejumlah 93 perusahaan di pulau kecil tersebut, terbanyak adalah komoditas Nikel dengan 29 perusahaan, kemudian diikuti bijih besi sejumlah 22, granit sejumlah 14, dan pasir kuarsa sejumlah 12.

Kemudian, dilanjutkan 16 pulau lainnya dalam jumlah kecil, terdiri dari batu bara, pasir darat, emas, mangan, bauksit, dan timah.

Seluruh kegiatan pertambangan tersebut berpotensi untuk dihentikan karena sudah ada contoh di Pulau Wawonii.

Maka, sebagai akibatnya, berapa banyak orang kehilangan pekerjaan? Berapa banyak pendapatan negara yang hilang? Berapa besar kerugian masyarakat yang selama ini mendapatkan manfaat dari kehadiran investasi tersebut?

Belum lagi, risiko hilangnya Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang diamanahkan oleh UU Pertambangan.

Terakhir, akan ada pengaruh besar terhadap upaya pencapaian Indonesia Maju 2045.

Kekhawatiran semu terhadap kelestarian hutan

Luas perizinan perusahaan pertambangan sebenarnya relatif kecil dibandingkan dengan luas pulau, yaitu sekitar 1,2 persen.

Persentasenya bisa jadi lebih kecil lagi, karena perusahaan sektor pertambangan membuka lahan terbatas yang ada kandungan mineralnya saja. Hal ini tidak seperti pertanian atau perkebunan yang membuka seluruh area perizinannya.

Pada konteks sektor pertanian atau perkebunan, sisa luas lahan lainnya akan terus dieksplorasi. Biasanya, lahan itu dimanfaatkan sebagai area penyangga, nursery atau pembibitan, arboretum, atau lainnya.

Tidaklah demikian dengan perusahaan tambang. Apalagi, bila kegiatan berada dalam wilayah IPPKH, maka penggunaan lahan akan semakin hati-hati karena terkait kewajiban pemulihan atau reboisasi yang biayanya cukup besar. Pemegang IPPKH juga dikenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan digunakan oleh Pemerintah untuk merehabilitasi hutan yang rusak di masa lalu.

Perlu diketahui, setiap pemegang IPPKH akan dikenai kewajiban rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), dengan sedikitnya sama dengan luas IPPKH, yang lokasinya ditetapkan oleh Menteri LHK.

Maka, selain luas IPPKH yang kelak wajib dikembalikan, ditambah dengan luas area rehabilitasi DAS, maka perusahaan pertambangan sesungguhnya justru memperluas wilayah hutan.

Perlindungan fungsi lingkungan pasti dilakukan sesuai Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL), serta pemasangan alat pantau pada titik penaatan yang terus-menerus dipantau dan dilaporkan, baik secara otomatis maupun manual.

Kebermanfaatan terhadap masyarakat sekitar juga wajib dilakukan melalui program PPM yang melekat dan dicantumkan sebagai bagian dari RKAB tahunan.

Jadi, sesungguhnya sistem pengawasan oleh pemerintah saat ini sudah sangat ketat dan berjalan dengan baik. Sulit bagi perusahaan melakukan pelanggaran, karena mudah diketahui dan diberi peringatan keras untuk memperbaikinya.

Risiko nyata terhadap pertambangan migas

Belajar dari lepasnya kasus pulau kecil, yakni Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang kini ditetapkan oleh Mahkamah Internasional menjadi milik Malaysia, seharusnya menjadi bahan Indonesia berefleksi.

Lepasnya kedua pulau ini terjadi karena Malaysia bisa membuktikan mampu mengurusinya daripada Indonesia.

Asal tahu saja, lepasnya kedua pulau kecil tersebut berpengaruh kepada batas laut negara, yang kini menjadi kasus diklaimnya dua blok KKS Migas sebagian masuk wilayah Malaysia. Kasusnya kita kenal dengan Kasus Ambalat.

Kegiatan migas sebagian berada di pulau-pulau kecil, termasuk yang ada di Kepulauan Natuna. Kabupaten Natuna ini memiliki luas 264.198 km2 dengan 154 pulau kecil. Pulau terbesar adalah Pulau Bunguran atau Pulau Natuna Besar seluas 1.605 km2.

Selain minyak bumi, Kepulauan Natuna menyimpan sumber daya gas bumi terbesar di Asia, bahkan kemungkinan terbesar di Dunia. Sumber daya yang potensial diperkirakan mencapai 222 TCF, sedangkan yang recoverable mencapai 46 TCF, yang kini masih menunggu kedatangan investor.

Jumlah tersebut berkali-kali lipat lebih besar bila dibandingkan dengan cadangan gas bumi yang ada di Masela, Provinsi Maluku, yang sebesar 10 TCF—meski dinyatakan sebagai cadangan terbesar saat ini.

Ingat, Pulau Natuna punya cadangan gas bumi 4-5 kali lipat dari Masela. Tentu hal ini sangat memberikan harapan bagi Tanah Air.

Namun, harapan tersebut bisa sirna apabila aksesnya justru tertutup oleh UU yang dibuat negara untuk mengusahakannya.

Menjaga pulau kecil berarti menjaga kedaulatan negara

Apabila Kepulauan Natuna diinterpretasikan tidak boleh ada kegiatan pertambangan migas, bayangkan betapa besarnya kerugian negara ini.

Kerugiannya pun tak sebatas migas, tetapi juga menjadi kerugian atas ancaman tereduksinya batas negara, serta semua kekayaan yang ada di bawahnya.

Pada lingkup yang lebih luas, dari semua pulau kecil di Indonesia yang berjumlah 13.446 pulau—di mana di antaranya ada sekitar 13.300 pulau tidak berpenghuni dan belum terinventarisasi dengan baik terkait kekayaan mineral dan migasnya—yang tersebar, haruslah tetap dipelihara oleh negara.

Maka, kini tinggal berhitung, berapa besar biaya negara untuk mengurusi pulau tersebut? Atau akan ada risiko seperti Sipadan-Ligitan yang terus membayangi, terutama bagi 111 pulau-pulau kecil terluar milik Indonesia?

Itulah mengapa untuk menjaga dan memelihara pulau kecil, pemerintah perlu berkolaborasi dengan investor pertambangan mineral, migas, pariwisata, atau kegiatan ekonomi lainnya.

Oleh karena itu, seharusnya, tidak mungkin ada UU yang bisa menghalangi negara memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya, sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

 

Kolom ini merupakan tulisan kedua dari tiga tulisan seri Edukasi Pertambangan di Pulau Kecil.

 

Disclaimer: The content above represents only the views of the author or guest. It does not represent any views or positions of FOLLOWME and does not mean that FOLLOWME agrees with its statement or description, nor does it constitute any investment advice. For all actions taken by visitors based on information provided by the FOLLOWME community, the community does not assume any form of liability unless otherwise expressly promised in writing.

FOLLOWME Trading Community Website: https://www.followme.com

If you like, reward to support.
avatar

Hot

No comment on record. Start new comment.