Note

KALEIDOSKOP 2022: Menunggu Suplemen Pasar yang Tertunda

· Views 26
KALEIDOSKOP 2022: Menunggu Suplemen Pasar yang Tertunda
KALEIDOSKOP 2022: Menunggu Suplemen Pasar yang Tertunda (foto: MNC Media)

IDXChannel - Perjalanan industri pasar modal nasional dalam beberapa tahun terakhir sukses mencatatkan kisah yang cukup membanggakan.

Pertumbuhan terjadi di berbagai tolok ukur, mulai dari penambahan jumlah investasi, lonjakan nilai dan juga volume transaksi hingga kapitalisasi pasar yang terus bertumbuh pesat.

Baca Juga:
Kaleidoskop 2022: Sederet Negara yang Masuk Jurang Resesi

Meski demikian, dengan catatan kinerja yang cukup moncer, pelaku pasar sejatinya masih menunggu-nunggu momen Penawaran Umum Perdana Saham (Initial Public Offering/IPO) yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam catatan sejarah perjalanan pasar modal nasional, IPO BUMN menjadi salah satu momen yang selalu ditunggu oleh pelaku pasar, karena diyakini dapat menggairahkan kondisi pasar secara intans, saat itu juga.

Baca Juga:
Kaleidoskop 2022: Deretan Emiten dengan Dividen Mini, BOLA hingga BSML

Manfaat
"(IPO BUMN) Memang relatif selalu ditunggu-tunggu, karena manfaatnya banyak sekali, dan dirasakan tidak hanya oleh BUMN atau anak usaha BUMN yang IPO itu sendiri, tapi banyak pihak juga ikut dapat merasakan (manfaatnya), termasuk industri pasar modal itu sendiri," ujar Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna.

Menurut Nyoman, dampak paling mendasar dan pragmatis dalam pelaksanaan IPO BUMN adalah membantu perusahaan terkait dalam memperoleh pendanaan yang bisa digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan bisnisnya ke depan.

Baca Juga:
Kaleidoskop Economic 2022: Surplus 30 Bulan, Perang sampai Resesi 2023 akan Ganggu Neraca Dagang RI?

Selain itu, dengan melakukan IPO maka perusahaan tersebut dengan sendirinya bakal terdorong untuk memperbaiki tata kelola perusahaan menjadi lebih baik dan transparan. Hal itu, disebut Nyoman, merupakan modal penting bagi sebuah perusahaan untuk berkembang lebih maksimal.

"Dari sisi BUMN-nya sendiri, proses IPO bisa menciptakan kemandirian, agar kebutuhan pendanaannya tidak hanya bergantung pada pemegang saham, yaitu pemerintah, sekaligus memperkuat tata kelola perusahaan, yang itu muaranya pasti ke peningkatan profitabilitas perusahaan," tutur Nyoman.

Sebaliknya, bagi pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas, pelaksanaan IPO dapat mendorong manajerial BUMN terkait menjadi lebih profesional, transparan dan berkualitas. Dengan demikian, diharapkan dapat berimbas terhadap kinerja yang semakin membaik.

"Kalau kinerja sudah semakin baik, maka BUMN ini tidak lagi membutuhkan suntikan modal. Dia bisa penuhi kebutuhan investasinya dari hasil bisnisnya sendiri. Termasuk, dengan kinerja semakin baik, maka setoran dividen untuk pemerintah juga bisa semakin maksimal," ungkap Nyoman.

Sementara bagi perekonomian negara secara luas, Nyoman menjelaskan, IPO BUMN dapat menjadi upaya untuk memaksimalkan dampak dan manfaat peran BUMN di masyarakat, dengan secara langsung ikut memiliki sahamnya, termasuk juga turut mengawasi kinerja BUMN tersebut sebagai bagian dari pemegang saham.

"Terakhir, bagi (industri) pasar modal sendiri, IPO BUMN bisa mendongkrak likuiditas pasar dan memperbanyak opsi portofolio investasi yang menjanjikan bagi pelaku pasar," papar Nyoman.

Lagi pula, di mata pelaku pasar, mengoleksi saham BUMN menjadi salah satu pilihan yang bisa dibilang 'zero risk' lantaran kemungkinan bangkrutnya sangat kecil, lantaran pemerintah melalui Kementerian BUMN sudah pasti siap untuk menyuntikkan modal tambahan, selagi bisnisnya masih dianggap menjanjikan.

"Meski tentunya ada juga (BUMN yang bangkrut/dilikuidasi), namun logikanya tidak akan didorong untuk IPO. (BUMN) Yang didorong untuk IPO pastinya yang secara kinerja bagus dan menjanjikan. (Klaim) Itu bisa kita lihat dari 15 BUMN dan 21 anak usaha BUMN yang telah IPO, lima diantaranya merupakan bagian dari Top 20 kapitalisasi pasar modal kita saat ini," tegas Nyoman.

Suplemen
Karena itu, lanjut Nyoman, tidak berlebihan bila selama ini kehadiran BUMN di pasar modal nasional relatif selalu dinanti oleh pelaku pasar. Terlebih, di tengah kondisi pasar yang cukup folatile dan tidak menentu, IPO BUMN bisa menjadi 'suplemen' yang bisa kembali menggairahkan pasar secara keseluruhan.

Hal itu, contohnya, bisa terlihat saat proses IPO PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), yang notabene merupakan anak usaha dari BUMN di bidang telekomunikasi, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), atau Telkom.

Memutuskan IPO pada 2021 dan melakukan pencatatan perdana (listing) sahamnya di BEI pada Senin (22/11/2021), keseluruhan proses go public perusahaan yang lebih dikenal dengan nama Mitratel itu sukses meraup dana segar hingga Rp18,79 triliun!

Sebuah nilai emisi yang, bersama perolehan IPO PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), berhasil melambungkan perolehan dana hasil IPO secara total di tahun lalu menjadi Rp62,61 triliun, sekaligus menjadi catatan nilai perolehan IPO terbesar sepanjang sejarah pasar modal nasional, hingga saat ini.

Sayang, sejak kesuksesan MTEL tersebut, sejauh ini belum ada lagi IPO BUMN maupun anak usahanya yang berhasil 'menggoyang' pasar modal nasional. Termasuk juga di sepanjang tahun 2022.

Sejauh ini, pelaksanaan IPO di sepanjang tahun ini baru hanya merealisasikan satu perusahaan saja, yaitu PT PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP), yang melepas 2,22 miliar sahamnya ke publik dengan harga Rp130 per saham. Dengan begitu, total emisi yang berhasil diraup hanya sebesar Rp288,8 miliar saja.

Jumlah saham yang dilepas tersebut, menurun jauh dari rencana awal, di mana sedikitnya 8,011 miliar saham yang bakal ditawarkan ke publik. Dengan harga penawaran semula dipatok Rp130 hingga Rp200 per saham, maka IPO ADCP awalnya digadang-gadang bakal meraup dana hingga Rp1,6 triliun.

Direktur Utama ADCP, Rizkan Firman, berdalih bahwa pemangkasan jumlah saham yang dilepas ke publik tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bisnis perusahaan ke depan.

Rizkan mengklaim manajemen optimistis bahwa kinerja perusahaan di masa mendatang masih sangat prospektif untuk berkembang lebih pesat, sehingga dengan penguasaan saham yang lebih besar oleh pemegang saham mayoritas bakal lebih mempermudah manajemen dalam mengarahkan strategi pengembangan ke depan.

"Dengan fundamental bisnis yang positif dan menjanjikan, semakin berkembang, maka untuk saat ini kami memutuskan untuk melakukan penyesuaian saham yang dilepas," ujar Rizkan, saat itu.

Meleset
Praktis, dengan pemangkasan target hingga 75 persen dari rencana awal itu membuat proses IPO ADCP menjadi tak maksimal, serta membawa dampak yang cukup minim terhadap pasar secara keseluruhan.

Beruntung, selepas itu, Kementerian BUMN membawa harapan baru dengan berencana mendorong sedikitnya empat anak usaha BUMN untuk segera IPO di tahun ini. Keempat perusahaan tersebut meliputi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Pertamina Hulu Energy (PHE), Perkebunan Nusantara (Palm Co), dan Pupuk Kaltim.

"(Pelaksanaan IPO) Tentu untuk membantu pemerintah dalam hal merealisasikan visi Indonesia 2045. Salah satunya lewat ketahanan energi dan juga ketahanan pangan,” ujar Wakil Menteri BUMN I, Pahala Nugraha Mansury, saat itu.

Namun, dengan segala proses yang harus dilalui, faktanya ADCP masih menjadi satu-satunya 'keluarga besar' BUMN yang sukses melantai di tahun ini. Dengan tinggal menyisakan beberapa hari saja, sulit rasanya berharap bakal ada tambahan satu-dua BUMN lagi yang bakal benar-benar IPO di tahun ini.

Meski, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator mengaku masih cukup optimistis bahwa salah satu dari keempat BUMN dan anak usahanya itu bisa merealisasikan rencana IPOnya di tahun ini.

"Sementara ini ada dua (BUMN) yang sudah cukup serius dan matang (untuk IPO), dan dengan size yang cukup besar. Satu mungkin tahun depan, sedang satunya lagi mudah-mudahan bisa terlaksana (tahun ini)," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi.

Paling tidak, meski tersebut terbukti urung terjadi di tahun ini, setidaknya pasar modal nasional seperti tengah melakukan strategi 'save the best for last', alias menyimpan 'suplemen' tersebut untuk dapat menambah kekuatan pasar modal di tahun depan.

"OJK mencatat sejauh ini masih ada 91 rencana IPO yang ada di pipeline, dengan nilai mencapai Rp92,29 triliun dari 57 perusahaan calon emiten. Secara total, minat penghimpunan dana di pasar modal juga masih sangat tinggi, mencapai Rp226,49 triliun, dengan 61 emiten baru," ungkap Inarno.

Dengan prospek yang demikian besar, Inarno pun tak ragu untuk memancang target perolehan dana hingga Rp152 triliun di sepanjang tahun depan. Target tersebut terdiri dari Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk (EBUS) seebsar Rp109,47 triliun, IPO sebesar Rp22,1 triliun, dan Penawaran Umum Terbatas (PUT) sebesar Rp21,5 triliun.

"Jadi, dengan data yang ada di pipeline saat ini masih relatif banyak, tentu kita juga masih cukup optimistis (target-target) itu bisa kita realisasikan dengan baik," tegas Inarno. (TSA)

Disclaimer: The content above represents only the views of the author or guest. It does not represent any views or positions of FOLLOWME and does not mean that FOLLOWME agrees with its statement or description, nor does it constitute any investment advice. For all actions taken by visitors based on information provided by the FOLLOWME community, the community does not assume any form of liability unless otherwise expressly promised in writing.

FOLLOWME Trading Community Website: https://www.followme.com

If you like, reward to support.
avatar

Hot

No comment on record. Start new comment.